Postingan

Obor Asian Games

OBOR ASIAN GAMES Karya : Brigita Sandrina Oooh...api yang menyala           Berkobar-kobar seperti semangat di dalam dada           Oooh...untuk membanggakan Indonesia           Raih juara demi persatuan bangsa           Akhlak mulia dijunjung setinggi asa           Sampaikan salam untuk perjuangan para pemuda           Ikrarkan janji setia selamanya           Agar selalu menjunjung dasar negara Pancasila           Niscaya akan berjaya hingga akhir hayat           Gentar jangan ragu tak akan           Agar jaya kita takkan bercela           Madahkan lagu Indonesia Raya           Elukan Sang Merah Putih Tercinta           Sorak-sorai akan mengiringi langkah,tiap muda yang berkarya

Haji Agus Salim

H.AGUS SALIM Karya : Brigita Sandrina           Haji Agus Salim was born at October 8, 1884,and died at November 4, 1954 was one of Indonesia's founding fathers and prominent diplomats. Salim was born in Kota Gadang, Agam, West Sumatra to Sutan Muhammad Salim, a court official, and Siti Zaenab. His birth name was Musyudul Haq, Agus was his nickname. His father was a prosecutor (called hoofd djaksa) in Riau High Court and once received the highest civilian medal from Queen Wilhelmina. In 1890, he began to study in Europeese Lagere School (generally only for Europeans) and graduated in 1897   During that period, he also furthered his studies of Islam. In 1897, he studied at Hogere Burger School and he earned the highest rank of HBS, when he was 19 years old. Salim was interested in studying medicine applied for a scholarship from the Dutch colonial government, but was refused. In respect of his mother's last wish, at the age of 22 he took a job at the Dutch consula

SMAN 68,HADIAH UNTUK MAMA

   SMAN 68 Jakarta,SMA favorit di Jakarta,yang menjadi rebutan bukan hanya seluruh warga DKI,tapi juga warga luar DKI. Bukan hanya karena prestasi-prestasi yang ditorehkan oleh siswa/i nya,tapi juga karena banyaknya jalur undangan yang ditawarkan melalui SMAN 68. Karena hal-hal tersebutlah,banyak orang tua yang menginginkan anaknya bersekolah di SMAN 68 Jakarta,tak terkecuali orang tua ku,khususnya mama. Sudah tak terhitung berapa puluh kali beliau mengatakan "Coba ya nak,kalau kamu nanti sekolah di 68,lalu lanjut kuliah di UI,senang banget pasti mama".Sejak awal beliau mengatakan hal itu,aku tak terlalu menghiraukan kata-kata mamaku itu,aku menganggapnya hanya angin lalu,walau sebenarnya dalam hati kecilku aku ingin masuk SMAN 68,dan mendulang prestasi serta mengembangkan potensi ku. Namun walaupun begitu aku tak pernah menjadikan hal itu sebagai salah satu motivasi belajarku,SMAN 68 tak berarti apa-apa untukku,dulu.     Kurang lebih 2 bulan sebelum UN,kembali mama ku meng